Minggu, 22 Februari 2009

Aku dan Suling Bambu

Aku terus berjalan di atas pematang sawah itu, sebuah tanah yang lebarnya tidak sampai satu meter ,membatasi setiap sawah dan menjadikannya petak-petak yang indah. Kakiku terus menginjak hijaunya rumput-rumput liar yang menutupi pematang itu, hingga akhirnya aku tiba di sebuah saung yang terletak tepat di pinggir sawah milik ayahku. Kupandangi seluruh sekelilingku, Hijaunya Padi muda, Birunya langit, dan tenangnya aliran air, menyapaku. Semilir angin sejuk menggodaku, membuat mataku ingin tertutup dan segera melayang ke alam mimpi, tapi sayang, angin itu terlalu kecil bagiku, karena aku mempunyai jurus terampuh untuk melawannya. Bermain suling bambu. Kuraih suling bambu berwarna coklat tua di sampingku. Kusatukan di bibirku lalu kuberikan udara yang langsung mengeluarkan melodi yang indah. Ini adalah hobiku. Hobi yang sering kulakukan sambil menjaga padi-padi ayahku dari serangan burung-burung pipit nakal.
Jika bermain suling, aku tak dapat merasakan apa-apa lagi. Aku seperti terbawa ke suatu tempat. Tempat yang begitu indah, dimana semuanya di penuhi oleh tumbuhan ilalang yang berdansa mesra bersama hembusan angin sejuk. Dan satu yang sangat kusukai, aku dapat bertemu dengannya. Seorang Gadis dengan senyum indahnya yang ikut berdansa bersama ilalang dan angin.
Aku membuka mataku lalu kuhentikan permainan sulingku. Kutatap dalam-dalam suling bambu itu. Pikiranku langsung membawaku kepada gadis itu. Reina , gadis dengan senyum indah yang ku kenal 3 tahun lalu. Gadis yang memperkenalkanku kepada sebuah kata yang dimiliki oleh semua umat di dunia,Cinta.
“kenapa berhenti kawan??” tanya suling bambu menatapku heran
Aku menghembuskan nafas panjang, “aku mengingat dia,”
“hm...tenang kawan, dia pasti akan menepati janjinya,” suling bambu tersenyum ramah
Aku menatapnya lalu kubalas senyuman itu, “tentu kawan, dia tidak pernah bohong padaku, apa lagi sampai mengingkari janjinya,”
“oke, sekarang mainkanlah aku lagi kawan,” pinta suling bambu penuh semangat
Aku mengangguk iya, lalu segera memainkannya, sambil mengingat semua kenangan indah bersamanya 3 tahun lalu.
3 tahun lalu, dia datang ke rumah Bibinya untuk berlibur. Memakai kaos biru langit longgar di padu dengan Rok berlapis berwarna putih. Semua anak lelaki seusiaku terkagum-kagum padanya, katanya karena gadis itu begitu menawan. Huh...aku tak tau, karena aku terlalu sibuk mengurusi padi-padi ayahku yang sudah mulai menguning. Dan siang itu, aku kaget bukan main, Gadis bernama Reina itu datang ke saungku.
“hai, aku reina,” suara bening reina menggelitik hatiku, suaranya begiu indah seperi senyumnya yang juga indah.
“Aku Rama,” balasku, dan saat itulah aku mulai mengenalnya.
Setiap hari, Reina selalu datang ke saungku, menemaniku menjaga padi-padi ayah, dan juga mengajakku bertukar cerita . Reina selalu bercerita tentang sekolahnya, teman-temannya, adiknya, hobinya, dan juga semua tentang Kota. Aku paling suka mendengar cerita tentang kota-nya.
“kamu nggak bakal percaya,rama, di kota tuh beda banget sama di desa, di kota banyak gedung-gedung tinggi, mall, rumah sakit, pokoknya semua yang gak ada di desa ada di kota,”
“tapi, di kota tidak ada Sawah-kan?”
Reina tertuduk sambil tersenyum malu. Itulah yang kusukai jika dia bercerirta tentang kota. Aku akan menyindirnya, dan dia pasti akan tersenyum malu, senyum yang lebih indah dari senyum biasanya.
“yah..emang sih di kota itu nggak ada sawah, tapi setidaknya di kota-kan lebih, hehehehe,” reina tertawa kecil
“hm..desa emang tertinggal jauh dari kota, tapi lihatlah....” aku menunjuk hamparan sawah di hadapan kami. Sawah yang telah di penuhi oleh para petani.
“semua penduduknya makmur, bahagia, sejahtera, damai,dan....” aku berhenti berbicara. Kualihkan pandanganku pada Reina. Dia tertunduk dan dipipinya mengalir butir bening satu persatu.
“Reina, kamu kenapa?? Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu, aku tidak bermaksud untuk membuatmu menangis,” kataku gelagapan menghadapi Reina yang terus menangis
“rama, kamu tau?? Orang tuaku ingin bercerai!! Kamu tau kenapa?? Karena papaku selingkuh!! Dan kamu tau siapa selingkuhannya?? Adik mama sendiri!!! Tante aku!!!” reina terisak-isak
Aku menatapnya dalam. Ada rasa sedih memenuhi hatiku. Entah mengapa gadis ini terlihat rapuh, padahal kukira dia begitu kuat. Dan hal itulah yang membuatku ingin melindunginya, membenarkan hatiku bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
“Reina...perceraian bukanlah akhir dari segalanya. Kamu tak akan kehilangan mama dan papa kamu. Kamu masih dapat berkomunikasi dengan keduanya walaupun mereka telah berpisah,” kataku mencoba menenangkannya.
Tapi, Reina malah menatapku tajam,dan dapat kutangkap sorot kemarahan disana. “jadi, kamu mendukung mereka untuk bercerai??!! Aku tidak percaya kamu setega itu ke aku!!! Aku tidak percaya!!!” Reina langsung berlari meninggalkanku sendirian yang merasa bersalah padanya, dan menyesal dengan apa yang telah kulakukan.
Aku ingin mengejarnya dan mencoba menjelaskan maksudku, tapi pasti sia-sia saja, karena dia akan tambah marah padaku, wanita terlalu sensitif. Akhirnya kuputuskan untuk menunggunya.
Satu jam, dua jam, satu hari, berhari-hari, Reina tidak datang juga. Aku tambah menyesal, Reina pasti sangat marah padaku, karena tidak biasanya Reina semarah ini padaku. Pernah, Aku tak sengaja mendorong reina hingga dia jatuh ke lumpur, dia marah, tetapi hanya beberapa jam saja setelah dia mendengarkan penjelasanku. Akhirnya Kuputuskan untuk ke rumah bibinya tempat Reina menginap.
Aku terlambat!! Reina sudah pergi, dia kembali ke kota. Aku merutuki diriku sendiri, Mengapa aku membuatnya tambah sedih?? Oh Tuhan...apa yang kulakukan ini!!! Aku menemukan ide!! Aku akan menyusul Reina ke Kota!!
“jangan Rama!! Reina tidak mau jika kau ke kota!!” kata Bi Imah, ketika aku menyampaikan ideku dan meminta alamat Reina di kota.
“kenapa,Bi??” tanyaku penasaran
Bi Imah tersenyum, “karena reina tidak ingin kau melihat penderitaannya. Reina sangat berterima kasih padamu rama, karena kau sudah menjadi teman terbaiknya dan juga telah memberinya nasehat yang membuatnya tetap bersemangat,”
“bersemangat?? Bukannya aku malah membuatnya marah?? Reina marah padaku, bukan??”
“awalnya, tapi setelah reina bercerita pada bibi, Reina malah berterima kasih padamu,”
Aku tambah bingung. Ah..wanita memang sulit di mengerti.
“sudahlah rama, kau jangan bingung begitu, oh iya, ini ada titipan dari Reina,” Bi Imah memberiku sebuah kotak kayu. Aku menerimanya, lalu segera membuka kotak itu. Sebuah Suling Bambu dan secarik kertas tergeletak tak berdaya di dasarnya.
“kata Reina, kau harus menyimpannya dengan baik,” pesan Bi Imah
Aku mengangguk iya dan berterima kasih pada Bi Imah. Langsung saja aku berlari, menembus angin sore, menembus berkas cahaya matahari yang akan di gantikan oleh bulan purnama. Entah mau kemana aku ini, aku tak tau, Karena pikiranku tidak dapat lagi mengendalikan kakiku. Yang ada hanya berbagai perasaan yang menyelimutiku. Senang, bahagia, bangga, heran, bingung, ah...semua bercampur aduk.
Akhirnya aku sampai di rumahku. Aku lalu duduk di teras, di keremangan lampu minyak, aku membuka kotak kayu itu. Kuatur nafasku yang terengah-engah sambil mengambil suling itu lalu kutimang-timang dengan manja. Senyum terus mengambang di wajahku ketika aku mengambil secarik kertas itu. Ada tulisan tangan Reina. Kubaca perlahan.
Rama....
Kamu harus bisa memainkan suling ini. Karena suatu saat nanti, aku akan datang padamu, untuk berterima kasih dan untuk mendengarmu memainkan suling ini.

Reina

Aku tersenyum kecil. Surat yang begitu singkat, padat dan jelas. Dan saat itulah aku mulai belajar memainkan suling itu. Hingga hari ini, hari dimana aku tepat berusia 20 tahun, dan hari tepat 3 tahun aku menunggunya bersama suling Bambu ini. Menunggu seorang gadis bernama Reina, yang berjanji akan menemuiku, yang berjanji akan berterima kasih padaku, dan akan mendengarkanku memainkan suling bambu ini.
Kubaringkan tubuhku. Kucoba memejamkan mataku perlahan sambil merenungi penantianku untuk Reina yang mungkin sia-sia saja. Apa Reina Bohong?? Atau dia telah lupa padaku?? Hah...kubuang jauh-jauh pikiran itu. Reina tidak akan bohong padaku, apa lagi sampai lupa padaku. Dia pasti datang!!! Pasti!!!!!
“Rama...”
Sayup-sayup kudengar seseorang memanggilku
“Rama...”
Oh Tuhan....suara Bening itu. Apa aku tidak salah dengar??
Aku segera bangun dari tidurku yang belum sempat terbawa ke alam mimpi. Gadis itu, senyum indah itu, Reina, dia ada dihadapanku!!! Apa aku tidak salah lihat?? Aku mengucek-ngucek kedua mataku. Jangan-jangan aku mimpi lagi.
“Rama, kamu tidak mimpi, aku disini, aku Reina.” Reina tersenyum padaku. Senyum indah yang begitu kurindukan
Aku membalas senyumannya. Aku tidak dapat berkata-kata. Inikah akhir penantianku??
“apa kamu sudah lupa padaku??” reina memasang wajah sedih
“tidak tidak..aku tidak pernah lupa padamu, hanya saja...aku..aku..tidak percaya,” yah... bagaimana bisa aku lupa padanya. Walaupun sekarang dia tambah tinggi, dan juga tambah catik, hehehehe. Dia adalah Reina, Gadis yang telah membuatku jatuh hati.
Reina tersenyum lagi, “kamu harus percaya, rama...maaf sudah membuatmu menungguku selama 3 tahun,” Reina tertunduk dalam
Aku tersenyum kecil menatapnya. Oh tuhan....terima kasih..
“orangtuaku sudah bercerai, tapi, kamu tau?? Walaupun mereka telah bercerai, mereka tetap berkomunikasi, begitu juga denganku, seperti yang kau katakan dulu. Terima kasih rama...terima kasih...” Reina mengangkat wajahnya lalu tersenyum padaku
“dan kamu tau rama, aku datang kesini juga untuk ,em...untuk...mengatakan...kalo aku..aku...aku..aku suka kamu rama, aku sayang kamu..”
GLEK...
Oh Tuhan....apa kau tidak salah dengar?? Reina bilang suka padaku??
Aku menatapnya dalam, membuatnya tertunduk malu. Langsung saja dia kubawa kedalam pelukanku. Agar dia tau, kalau aku juga sangat menyayanginya.
Aku melepaskannya, lalu mengajaknya duduk di saung sambil memandangi Sang Megah merah yang hendak Pulang.
“oh iya, aku juga mau denger kamu memainkan suling itu,” Pinta Reina
Aku mengangguk penuh semangat. Langsung saja aku memainkan sebuah melodi indah untuknya. Agar dia tau, hasil dari kerja kerasku selama ini yang hanya untuknya. Reina terus tersenyum sambil memujiku tiada henti, membuatku sangat malu sendiri.
Saat matahari telah menghilang, kami meninggalkan saung. Meninggalkan tempat pertama kali aku bertemu dengannya, tempat aku menantinya selama ini, dan juga tempat Reina datang memenuhi janjinya.
Aku menatap suling bambu di tanganku. Suling itu tersenyum dan berkata , “Selamat rama,”
“sama sama,” balasku ikut tersenyum karena dia telah menemaniku selama ini, menjadi temanku saat aku butuh kesenangan.

_The End_

Makassar, 09 Oktober 2008
Created By :
Nurul Ilmah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar